Rasa tawadlu dan hormat yang demikian besar KH. Hasan Mangli (Mbah Mangli) kepada para kiai dan gurunya, sudah menjadi cerita yang banyak diketahui publik.Salah seorang kiai pernah bercerita, bahwa dirinya melihat sendiri Mbah Hasan Mangli saat sowan ke ndalem KH. M. Arwani Amin, mulai dari teras sudah bersimpuh dan masuk ke ndalem sambil ‘’ngesot’’ saking tawadlu kepada kiainya.
Cerita soal sikap tawadlu dan hormat yang demikian besar Mbah Hasan Mangli kepada kiai dan gurunya, juga diceritakan salah satu puteranya, Gus Ahmad Ridho. ‘’Bapak Saya beberapa kali bilang, ‘Saya bisa begini karena barokah dari kiai dan guru, khususnya KH. M. Arwani Amin dan KH. Ma’mun Ahmad,’’ kisanya.
Karena menghormati kiai dan gurunya pula, saat Lebaran (Idul Fitri), jika sedang berada di Kudus, tidak berani membuka pintu rumah dan menerima. ‘’Itu karena bertetangga dengan kiai-kiai dan gurunya, di antaranya Mbah Arwani dan Mbah Ma’mun,’’ tuturnya.
KH. Abdullah Saad, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Inshof, Karanganyar, Jawa Tengah menuturkan, rasa tawadlu para ulama kepada para kiai dan gurunya, itu merupakan salah satu pancaran dari nurul ilmi.
‘’Ulama itu adalah mereka yang memiliki rasa khasyyah. Ilmu itu khasyyah. Ilmu itu, ya, takut, itu. Kesemuanya dari ilmu, ya, takut. Yang punya rasa khasyyah itulah ulama,’’ kata KH. Abdullah Saad kepada Suaranahdliyin.com, Sabtu (27/10/2018).
Dia menambahkan, salah satu kiainya, KH. Ma’mun Ahmad, berpandangan, bahwa antara ulama dan orang pinter itu berbeda. ‘’Ulama itu sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, innamaa yakhsya Allaha min ‘Ibadihi al-‘ulama. Sedang orang yang memiliki ilmu, itu lebih tepat disebut sebagai cendekiawan,’’ ujarnya.
Mengutip salah satu syair, KH. Abdullah Saad pun berpesan, ‘’Sabarlah kamu atas pahitnya rasa cuek (diasingkan) oleh seorang guru. Sebab sesungguhnya kegagalan ilmu -pada seorang murid- itu timbul dari kemarahan seorang guru,’’ terangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar