Reartikulasi Dawuh “Sing Mempeng”
Kula kinten tinimbang ngutip satunggal pepatah mekani ngilmu ingkang sumebyar ing ndalem buku-buku lan ugi kitab klasik minangkani sekedhik penghias ‘tulisan’ kemawon ajeng ketingale langkungbmigunani lansekedhik saged ketingal radi ‘ilmiah’ bilih Kula nyuba ngejawantahaken Malih makna (reartikulasi) salah satunggaling pepatah populer: sing mempeng, le!
Sering keprungu kanca kanca menawi sowan Dateng Simbah Kyai HISYAM ZUHDI leler rimiyin wekdal tesih Sugeng lan ugi kyai-kyai sanesipun Kula tangledi nasihat ingkang dipun ijasahaken Piyambakipun, jawaban kang dilontaraken pun tansah sami, sing mempeng olihmu ngaji utawane pitakenan pitakenan sanes kang Wonten gegayutanipun kaliyan ngilmuan pelajaran madrasah kados pundi hafalanmu?
Ing nDalem setunggal studi Babagan niyat, ulama tasawuf lan ugi Achmad Ibrahim, pinangka pakar psikologi, ing ndalem buku karyanipun “Psikolog gegayum Pengalaman Religius” sampun wanti-wanti supadas ampun ngant;os setunggal ritual ngibadah transformasi dadosi satunggal kebiasaan keranten menika saged at menghilangkan makna dan kesakralannya sehingga ‘nol’ secara spiritual, layaknya tubuh yang telah kehilangan jiwanya.
Bukan artinya melakukan ibadah secara kontinu dianggap salah karena angapan tersebut akan menyalahi sabda Nabi Muhammad SAW, “Amal paling baik dilakukan adalah apa yang dijalankan terus-menerus.” Melainkan, ‘jangan sampai kegiatan sakral yang sering dilakukan kehilangan maknanya karena telah menjadi kebiasaan.’
Coba periksa lagi pengalaman-pengalaman religius yang kamu lakukan, kehilangan maknanya atau tidak? Siapa tahu salat yang dilakukan hanya sebatas ucapan dan gerakan-gerakan lahiriah saja tanpa ada kesakralan makna spiritual di dalamnya. Hati-hati.
Kalau dihubungkan dengan teori di atas, boleh jadi dawuh sing mempeng yang sering kali dilontarkan pun dianggap sebagian atau bahkan kebanyakan santri sebagai suatu hal yang klise dan tidak berarti banyak (meaningless) karena telah kehilangan maknanya. Apalah arti sebuah kata bagi seorang pembaca bila telah kehilangan maknanya. Dari titik inilah reartikulasi dawuh tersebut mulai tampak dibutuhkan.
Pemaknaan secara tepat
Secara literer, sing mempeng adalah sebuah nasihat jawa yang terdiri dari dua kata, sing dan mempeng. Dalam Bahasa Indonesia “sing” artinya adalah yang, sementara “mempeng” adalah sungguh-sungguh, rajin dan sebagainya-hasil wawancara dengan salah satu orang Jawa Tengah-sehingga bisa dipahami maksud dari sing mempeng adalah bersungguh-sungguh.
Sebenarnya, dari makna sederhana ini pun sudah terdapat indikasi betapa berkobarnya api semangat thariqah ta’lim wa ta’allum guru-guru kita. Sebab, dawuh tersebut bisa mengarah kepada keduanya sekaligus (ta’lim wa ta’allum) bergantung pada siapa yang mendapat nasihat: pelajar atau pengajar, dalam arti lain, sifatnya subjektif.
Namun demikan, tulisan ini mencoba untuk juga memahami variabel-variabel yang terlibat dalam dawuh sing mempengagar emas (makna) yang didapat kualitasnya lebih tinggi lagi.
baca juga: SEMANGAT BARU BERKAT DAWUH MASYAYIKH
Pembagian secara variabel
Variabel pertama, dawuh sing mempeng berkaitan dengan ilmu yang keutamaanya bahkan mampu membuat malaikat mengakui keistimewaan dan kompetensi manusia pertama, Nabi Adam As. Untuk menjabat sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, karena dawuh tersebut adalah sebuah usaha menstimulus jalan mencari ilmu, kemuliannya pun tentu setara tujuannya.
Variabel kedua, dalam sebuat riwayat hadis dikatakan:
إِنَّمَا العِلمُ بالتَعَلُّم
(Ilmu hanya dapat dihasilkan melalui jalur belajar)
Maka, dawuh sing mempeng merupakan realisasi hadis tersebut karena memang tujuan utamanya adalah mendorong santri agar mau bersungguh-sungguh belajar.
Dengan melihat makna literer dan variabel-variabel yang potensial dihasilkan selain dua variabel di atas, jelas sudah bahwa nilai dan makna yang terkandung dalam dawuh sing mempeng ‘bukan kaleng-kaleng’, bagi siapapun yang berusaha menggali makna dan mengamalkannya.
Kesimpulan
Sebagai penutup, dalam kitab adab al-dunya wa al-din terdapat satu cerita yang sekoridor dengan inti pembahasan tulisan ini. Dikatakan bahwa seorang bijak ditanya oleh masyarakat, mana yang lebih baik ilmu atau harta? Seorang bijak menjawab ilmu. Namun, ia suguhi fenomena banyaknya ulama yang berdiam diri di depan pintu rumah saudagar kaya sedang tidak ada satupun saudagar kaya yang berdiam di depan rumah ulama.
Sang bijak menjawabnya satir, itu karena ulama tahu bahwa harta memiliki nilai sedangkan saudagar kaya tidak memahami pentingnya ilmu. Ia tidak paham maknanya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar